Apakah Harta Bawaan Menjadi Harta Gono Gini?

TANYA:

Sebelum menikah saudara saya memiliki usaha yang modalnya sebesar Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah). Setelah menikah usaha saudara saya berkembang sehingga bisa membeli dua unit rumah dan satu unit mobil. Sampai saat ini usaha tersebut masih berjalan namun saudara saya tersebut hendak bercerai dengan istrinya di Pengadilan Agama. Pertanyaan saya apakah dua unit rumah dan mobil tersebut merupakan harta bersama walaupun berasal dari modal yang berupa harta bawaan. Terima kasih atas jawabannya.

JAWAB:

Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan “UU Perkawinan”). Undang-undang ini berlaku umum, dalam artian berlaku untuk yang muslim dan non muslim. Untuk yang muslim, ada lagi pengaturan yang khusus, yaitu Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

KHI merupakan kumpulan aturan hukum yang dihimpun dalam satu buku untuk kemudian dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, termasuk tentang pembagian harta kekayaan dalam perkawinan. KHI merupakan rangkaian dari terbitnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 mengenai Peradilan Agama.

Baik dalam UU Perkawinan maupun dalam KHI, terdapat dua jenis harta kekayaan, yaitu harta bersama dan harta bawaan. Dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Lebih lanjut dalam ayat (2) dikatakan “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.

Redaksi “sepanjang para pihak tidak menentukan lain” berupa pembuatan Perjanjian Perkawinan pisah harta sebelum pernikahan dilangsungkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan:

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Dalam Pasal 1 huruf f KHI disebutkan:

Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.”

Selanjutnya dalam Pasal 87 ayat (1) KHI disebutkan mengenai harta bawaan:

“Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”

Islam memang mengenal adanya harta bawaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 (1) KHI, namun dalam kasus tersebut, sepertinya sulit untuk memastikan nilai dari harta bawaan yang kemudian dikembangkan tersebut. Jika memang dapat dibuktikan secara sah dan nilainya dapat dihitung secara pasti bahwa ada harta bawaan yang kemudian dikembangkan dan hal itu diakui sebagai modal awal oleh masing-masing pihak, maka itu dapat disepakati sebagai harta bawaan yang dipisahkan sendiri.

Namun, jika itu sulit dilakukan, maka walaupun harta berupa dua unit rumah dan satu unit mobil tersebut dibeli dari keuntungan usaha yang dirintis dari sebelum menikah, dapat dianggap sebagai harta bersama/harta gono gini, karena harta tersebut dibeli/diperoleh ketika perkawinan berlangsung. Terhadap pasangan suami-istri yang tidak membuat perjanjian perkawinan pisah harta, harta bersama, harus dibagi dua sama rata antara suami dan istri.

 Demikian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *